Tuesday, April 24, 2007

puisi





Menangis Bumi



Kau terjaga menyeruput jelaga hitam pekat

Terkurung kadang terkantuk

Setiap kata yang terucap adalah nyanyian malaikat surga

suci, indah penuh cahaya

Temanmu suara suara alam

bisikan angin, jangkrik, bahkan dengkuran kawan sekamar

Sudahlah!

Ayam jantan tak pantas berkokok

Kau mematuk lebih awal

bumi pun jadi menangis karena itu

Al-Kahfi Bait

10 April 2007



Imajinasi



Langit yang memudar

Menyisakan awan putih kecil

Apa itu kapas?

Atau bulu bulu sang kebiri

Ah..mungkin hanya buih sabun mandi

Tidak, itu remasan kertas tissue penuh ingus

Bukan, itu gumpalan salju raksasa



Basket Field

9 April 2007





Bukan Cinta



Hari ini, aku mengundang cinta

menyebarkan harum bunga segala taman

melagukan nyanyian cinta

sesaat

Segala rupa menanti jawab

bersambut ataukah tidak

menegangkan

Hingga lirih berucap

ini bukan cinta melainkan syahwat



Taman basah

April 2007



Bahagia di Atas luka



Kepedihan tak selalu luka

Kerinduan bukan milik cinta

Sedalam hati yang menyelam

Mencari arti sebuah rasa cinta

Menjadikannya cahaya yang menerpa

raga yang tak berdaya

Buyarkan fikiran terbangkan fakta

Adakah tertinggal duka nestapa

Lihat cahaya diakhir cerita

Lenyapkan segala prasangka

Hilangnya rasa itu tidaklah bahagia

Bandung 2007





Ingat mati


Waktu yang menelan hari menjadi biang pemicu nyeri

Tak ingatkah kau pada kembali

Mendengarkan nyanyian sepi

Bersama lolongan anjing mengaung-ngaung

Di malam-malam sesak mendesak

Oii sudahkah terang hati

Teringat mati

Dan

Jatuh dalam mimpi

Lab Dakwah 2007



Setitik saja



Kemana kau pergi

Saat matahari membundar di kepala

padahal hatimu berbisik sepi,

Kemana kau larikan malam

saat mobil, kapal dan pesawat

membawamu melesat

Dimana kau teduhkan jasad kerdilmu

padahal kau butuh sandaran

Apa kau tetap tenang

ketika langit memerah panas mengerikan

kau membeku parah

pedang kapak tak mampu lagi luluhkan karang

mungkin setitik saja air pagi

celahmu akan tampak



Al-Kahfi Bait

10 April 2007





Teman malam



ia lelap

Menemani malam-malam sibuk penuh tugas



rrzzzzZ







Rumput tegak malam



Aku tertancap dalam tanah negeriku

Pada malam bulan tertutup awan

Biarkan partikel-partikel udara menembus menusuk selku

Tak perduli meski terhempas lemah dan kaku



Aku tetap tegak



Bertahan di beku malam

Menaruh harapan niscaya cahya datang

Saat malam merangkak pergi



Aku harus tegak



Nyawaku di peraduan kedinginan

Biar selimut hitam liar ini melelapkan

Aku akan terjaga dalam kelam

Tampak setitik cahaya di kejauhan



Aku bisa tegak



Dan masih sempat menetes embun

Hingga pagi yang basah

Hadir bersama matahari membuta



Toire Nouran 2007

Cerpen-cerpen aku

Aku tak Sendiri

Hah… hari yang memusingkan. Malam yang menyibukkan.
Coba, sudah berapa minggu atau mungkin bulan aku tak juga pulang ke kampung halamanku. Ya, hidupku di kota mandiri harus kubuat semandiri mungkin, memasak sendiri, mencuci sendiri, dan mencari uang sendiri, bayar kosan pun berikut listrik, tagihan air, uang kebersihan juga keamanan harus sendiri. Hah… hari-hari yang melelahkan dan hampir membuat otakku pecah, jenuh aku di buatnya.

Seperti siang yang hampir sore ini, saat matahari mulai menyenja dan memuncratkan cahaya keemasan di sekitar wajahku. Aku harus pulang ke kosan, mempersiapkan materi dan kumpulan soal ujian tahun lalu yang nantinya akan kubahas dan ajarkan ke anak bimbelanku. Memang, saat ini aku mencari tambahan biaya kuliah, dengan mengajar privat dari rumah ke rumah, mulai dari siswa SD sampai SMA, Biasanya aku mengajar setelah perkuliahan usai.

Seperti hari ini adalah jatah Ahmad Zarky, siswa SD kelas 3, anak yang hiperaktif dan gak betah di rumah. Belum lama ini mamanya memintaku mengajarinya, membantu membuatkan PR, mengerjakan tugas dan tentu mendidiknya menjadi anak yang baik.

Awalnya Zarky antusias ingin di-lesin olehku _mungkin melihat wajahku yang lumayan tampan, muda dan murah senyum ini_ pada saat dia melihatku sedang mengajar tetangganya yang Les matematika padaku. Ia menjerit-jerit, menangis, meronta-ronta hingga tersedu-sedu, _berlebihan sekali_ memintaku agar mau memberikan Les seperti tetangganya yang juga temannya itu.

Idzar senang, sebab akhirnya aku menyetujui dan bersedia mengajarinya les, dua kali dalam sepekan, setiap Selasa dan Sabtu.
Kali pertama pertemuan, ia mampu bertahan hingga dua jam belajar bersamaku. Pertemuan kedua, hanya mampu satu setengah jam saja, itupun langsung ngibrit ke lapangan bola karena sejak tadi suara suit-suit teman-temannnya yang bersahut-sahutan itu sepertinya sudah tak sabar ingin mengajaknya main bola di lapangan sebelah, dan sungguh terdengar gaduh sekali.

Sampai akhirnya pertemuan ketiga, ia sudah ngambek, ogah ada les lagi di rumahnya apalagi hari Sabtu karena besok gak ada PR, begitu alasannya.

Aku hampir kecewa dan putus asa, kalau lesnya ogah-ogahan seperti itu, tidak hanya uang tambahanku yang nantinya akan hilang tapi juga berarti aku telah gagal menjadi seorang guru yang baik. Aku sedih saat itu.

Namun, tak semudah itu aku menyerah, maka dengan segala kemampuanku, kucoba dekati bocah bertubuh subur itu di lapangan tempat ia dan kawannya bermain. Mungkin bujukan orang tuanya yang berteriak lantang memanggilnya untuk segera masuk dan belajar bersamaku gagal, karena sedari tadi tak bocah gendut itu tak menghiraukan panggilan mamanya.

Tapi lihat saja akan kukerahkan segala kemampuanku untuk membujuk, merayu bocah gendut itu, tak kubiarkan kedatanganku ke rumahnya kali ini menjadi sia-sia. Ia harus belajar bersamaku.

Sore yang masih panas dan silau
Aku turun ke lapangan. Kuhampiri Zarky si hiperaktif itu.

“ Hallo Zar, apa kabar? Kok masih main terus? Katanya mau eles?” Pertanyaaanku yang kubuat manis. Tampangku mendukung.
“ Gak mau, Za`ky gak mau les, Za`ky mau main bola…” Ia merengek, hanya saja tidak sampai guling-gulingan di lapangan bola. Heh, belum tahu jurus rayuan gombalku.
“ Lho, katanya dulu Zarky mau eles? Kan bentar lagi mau ulangan? Zarky mau naek kelaskan…?” Tanganku merangkulnya, mengajak ia berjalan menuju rumahnya. Namun, ia tepis.
“ Gak mau, lesnya hari selasa ama sabtu aja...” Jawabnya aneh, padahal ini adalah hari Sabtu.
“ Inikan hari sabtu, hayo…?”. Lupa atau cari alasan saja ia rupanya.
“ Ihhh gak mau, Zarky gak mau belajar hari Minggu...” Makin parah saja anak ini. Lupa ingatan apa?
“ Iya tapi ini hari Sabtu dan Zarky harus belajar supaya pinter.” Bujukku lagi.
“ Tapi besok gak ada PR, kan besok libuuur…” Ahh anak ini banyak alasan. Aku mulai kesal.
“ Iya… gak apa-apa, kita latihan aja, cuma perkalian terus menggambar, gimana?” kuusap rambutnya yang bau matahari itu, padahal aku makin jengkel.
“ Gak mau perkalian, Zarky mah...!” Oh Tuhan apalagi ini.
“ Ah, cuma sebentar aja kok, ntar kita tebak-tebakan doang.” tawarku kekeh.
“ Tapi bentar aja!” Kuharap ini benar-benar keputusannya.
“ Okey setuju, yuk!”

Oh Tuhan akhirnya Zarky mau. Hhuuuh, hampir saja. Kulihat mama Zarky melepas senyumnya. Akhirnya aku berhasil.

Begitulah, satu minggu, dua minggu sampai pada akhir bulan aku menerima upahku. Aku semakin dekat dengan bocah itu, kadang sambil menggambar, bercerita, bercanda, bernyanyi dan ber-ber-lainnya. Sungguh, aku harus sabar mengajar anak ini. Selanjutnya belajar menjadi lebih lama, terutama pada hari Sabtu. Mamanya bilang sekalian malam mingguan di sini saja.

Dan aku makin mengenal keluarga ini, apalagi sejak 2 bulan terakhir, aku baru mengetahui kalau ternyata Zarky memiliki seorang kakak perempuan pertama yang, eheeem cantik oh, sweet. Mahasiswa jurusan sastra Inggris di Bandung, terlihat anggun dengan tutup kepala yang lebar berwarna putih berlapis dengan warna krem muda.

Aku baru tahu namanya Nurul Annisa. Ia baru semester dua dan kini sedang liburan selama dua pekan.

Oh indahnya, malam ini, aku mengajar sampai malam di rumahnya.
Rasanya, malam Minggu ini aku tak sendiri.

Damkar, 2104007
Akhelbri